Sang surya masih bertengger elok
menyembur birunya langit di atas sana. Seorang laki-laki paruh baya sedang
menyeruput secangkir teh manis yang asapnya mengepul di udara. Pemandangan
hijau dan angin membelai lembut kulit laki-laki itu. “Ayah... lihat ini!”
teriak seorang anak kecil lalu menghampiri laki-laki itu dengan sebutan ayah.
Anak itu menyodorkan sebuah koran yang ia bawa. Laki-laki itu mengambil koran
dari tangan anaknya. Ia kemudian membaca dengan seksama. Sebuah laman di sebuah
surat kabar mengabarkab sosok pemimpin bijaksana dan dekat dengan kehidupan
masyarakat. “Gubernur Harapan Rakyat” begitu judu; headline surat kabar
tersebut. “Kelak jika kamu dewasa, jadilah pribadi yang berguna bagi bangsa
Indonesia” ucap laki-laki itu sembari mengusap rambut anaknya. Ia hanya
mengangguk polos, menatap mata biru sang ayah.
****
Hari
ini, Djakarta 08 Desember 1975. Seorang laki-laki bertubuh tegap tengah
berbicara pada dirinya sendiri di depan cermin. Sebut saja Pak Warno. Usianya
memang tak lagi muda, bahkan mulai menua. Kerutan mata serta kantung-kantung
mata terlihat jelas pada wajah Pak Warno. Namun kebijaksanaan, ketegasan serta
kharisma beliau tak tergerus usia atau pun waktu. Kediaman beliau tidak mewah
bahkan terkesan sederhana. Di salah satu sudut ruang keluarha, tampak sebuah
foto dengan bingkai berwarna keemasan. Foto tersebut diabadikan saat pelantikan
Walikota Djakarta empat tahun silam. Tidak hanya itu, sebingkai foto dengan
sematan toga di atas kepala menjadi saksi bisu bahwa dulu ia pernah mengenyam
pendidikan teknik di negeri kincir angin. Dan saat ini Pak Warno menjabat
sebagai Walikota Djakarta sekaligus pemilih perusahaan kereta api pertama dan
terbesar di Indonesia. Seorang perempuan berkulit putih dan berperawakan
keibuan tiba-tiba menghampiri Pak Warno. “Ada tamu Pak!” ucap Bu Aina, istri
Pak Warno . “Siapa bu?” Bu Aina hanya menggeleng lalu muncul suara ketukan dari
balik pintu yang seakan dibuat lebih keras dari sebelumnya. Pak Warno membuka
pintu. “Semua sudah siap pak!” lapor seorang ajudan Pak Warno. “Baiklah” jawab
Pak Warno siangkat. “Bapak” panggil seorang anak kecil kemudian menggelayut
manja di kaki Pak Warno. Pak Warno hanya mengusap rambut anaknua. Sesimpul
senyum dengan bola mata berwarna biry dari wajah sang anak
Sepekan
ini Indonesia sedang gempar dengan pemberitaan mengenai hasil pilkada Djakarta.
Media massa mana pun sedang mengusut seluk beluk perkara pada kasus tersebut.
Semalam, sebuah stasiun televisi mengabarkan bahwa salah seorang kandidat
mengajukan Permohonan Keberatan Hasil
Pilkada Djakarta. Sebut saja Pak Joko, ia menilai bahwa hasil tersebut
terdapat banyak kecurangan dan terdapat oknum-oknum licik sebagai dalang dari
kecurangan tersebut. Pak Joko sedang gencat-gencatnya memperjuangkan
permohonannya. Ia sedang memperjuangkan kemenangan yang ia yakini. Nampaknya
kebenaran belum menampakkan benang merah. Para aparatur hukum sedang menyelidik
kasus ini hingga keakarnya.
Malam
harinya, ketika para penghuni bumi sedang terlelap dalam limbunan selimut tebal
dan hanya segelintir mata yang masih terjaga di antara senyapnya kegelapan.
Rumah Pak Warno dikejutkan dengan suara bel yang terus bersautan. “Siapa
malam-malam seperti ini ingin bertamu pak?” omel Bu Aina sembari melirik jam
dinding di kamarnya. Waktu menunjukkanpukul 23.30 WIB. Bu Aina segera beranjak
turun menuju ruang tamu, akan tetapi Pak Warno mencegatnya. “Biar bapak saja
yang turun bu” BuAina mengangguk.
“Kreek”
seseorang muncul dari balik cahaya remang. “Ada apa malam-malam ingin bertamu?”
seseorang membalikkan badan. “Selamat malam Bapak Warno” ucapnya. “Ada apa anda
datang Bapak Joko?” Pak Warno memandang enggan kedatangannya. “Bisa kita bicara
di dalam?” ajak Pak Joko dengan nada seolah mengejek. Pak Warno menatap sinis
setiap langkah dari Pak Wrno. Mereka duduk di sebuah sofa, Pak Joko mengangkat
kaki kirinya dengan sombong, ia lalu melihat ke seluruh penjuru sudut ruang
tamu. “Ada keperluan apa anda datang kemari?” Pak Warno tampak mulai geram
dengan gelagat dari tamunya. Pak Joko hanya diam, ia menyodorkan sebuah koper
hitam. “Silahkan anda buka” Pak Warno membuka koper tersebut. Wajahnya
tiba-tiba merah padam. Sesaat kemudian, Pak Warno menghempaskan koper itu
hingga beradu keras dengan lantai. Menimbulkan suara mengejutkan. “Keluar!!”
bentak Pak Warno. Pak Joko menurunkan kaki kirinya. Asap rokok keluar liar dari
muluk Pak Joko, membuat Pak Warno semakin geram. Di lantai berhambutan ratusan
uang dollar. Pak Joko menepuk-nepuk dada Pak Warno. “ Dengan uang itu anda akan
menjadi orang terkaya di negeri ini. Jangan munafik Pak Warno” “Sekarang anda
pergi dari rumah saya!! Tidak sudi saya menerima injakan kaki anda! Saya tidak
akan pernah menerima uang haram itu. Tidak sudi pula saya berhubungan dengan
orang pengecut seperti anda! Sekarang enyah dari rumah saya!!” Kesabaran Pak
Warno sudah di ujung.
“Ini
hanya permulaan Bapak Warno. Saya yakin anda akan menerima uang itu” “Sampai
saya sekarat pun, tidak akan sudi menerima uang itu! Saya tidak akan membohongi
rakyat Indonesia. Saya tidak akan pernah mengkhianati bangsa saya sendiri. Biar
aparat kepolisian yang akan menemukan celah kebohonganmu. Permohonan yang kamu
ajukan itu hanya bagian dari permainan licikmu, bukan?”
“Cuih..
Sebentar lagi anda akan segera tahu, resiko apa yang akan anda terima” Ancam
Pak Joko. Nampaknya Pak Warno tak terlihat gentar sedikit pun. “Braak” Pak
Warno membanting pintu rumahnya. Memperlihatkan keengganannya atas kedatangan
Pak Joko.
Sore
harinya, ketika Pak Warno, dan Bu Aina sedang bersantai di ruang keluarga. Bu
Aina membuka pembicaraan, “Apa yang telah terjadi semalam Pak?” “Semalam, Pak
Joko datang. Ia menyodorkan sekoper berisikan uang kemudian meminta bapak untuk
membantunya dalam permohonan yang ia ajukan” “ Ibu tahu, Pak Joko bukanlah
orang asing dalam dunia politik. Koleganya tersebar luas baik di pemerintahan
atau di kalangan mafia hukum. Kelicikannya memang hal tabu bagi masyarakat
umum. Kebohongannya dalam menutupi topeng kemunafikan serta kecilikannya dapat
ia perannya dengan baik.
Malam
harinya, saat Pak Warno baru saja melaksanakan sholat maghrib, tiba-tiba
terdengar ketukan lirih. Bu Aina mendengarkan dengan seksama. “Ada tamu Pak!”
Pak Warno langsung keruar membukakan pintu. Namun, ia tidak menemui pemilik
ketukan itu. Saat hendak menutup pintu, mata Pak Warno menangkap sebuah koper
di antara undakan anak tangga. Ia berjalan menghampiri lalu membuka koper
tersebut, betapa terkejutnya ketika yang ia dapati berupa ratusan uang dollar.
Sekelompok orang muncuk sembari menodongkan pistol. “Siapa kalian?” ujar Pak
Warno dang wajah bingung. “Kami dari aparat kepolisia. Anda tertangkap menerima
suap” Mereka menyeret Pak Warno sebara paksa. Bu Aina mencoba menjelaskan namun
mereka seolah tutup telinga.
Berhari-hari
kasus ini berjalan. Berhari0hari pula penyelidikan terus dilakukan. Semenjak
itu media massa nasional terus menyiarkan pemberitaan kasus Pak Warno.
Bumbu-bumbu fitnah seolah menjadi racun dari sebagian besar pemberitaan. Dan
selama itu pula Paka Warno harus meringkuk di balik jeruji besi sampai penyelidikan
tuntas. Hingga tiba waktunya Pak Warno duduk di kursi ruang sidang. Hakim mulai
mulai membacakan hasil penyelidikan serta tuntutan. Pak Warno tampak tenang.
Hakim memutuskan bahwa Pak Warno tidak terlibat dalam kasusu ini. Tampak rona
bahagia dari wajah Pak Warno dan Bu Aina. Setelah persidangan, Pak Warno dan Bu
Aina meninggal ruang sidang. Para wartawan terus mengorek sepatah-dua patah
kata dari Pak Warno. Namun ia memilih diam.
Saat
sampai di depan pekarangan rumah, Pak Warno dan Bu Aina dikejutkan dengan
ratusan orang berdiri di depan rumah mereka dengan suara berteriak. “Ada apa
ini bu?” tanya Pak Warno. Pak Warno turun mendatangi mereka. “Ada apa ini?”
ratusan orang itu terus berteriak sambil mengacungkan tulisan. Pak Warno
mengajak salah seorang dari mereka masuk. Rupanya mereka adalah buruh dari
perusahaan kereta api milik Pak Warno. Mereka kenaikan gaji 30%. Pak Warno
kaget, ia merasa permintaan mereka sangat tidak wajar. Pak Warno tidak
menyutujui permintaan para buruh tersebut.
Berbulan-bulan
kemudian, Pak Warno harus lengser dari masa jabatannya sebagai walikota
Djakarta. Headline surat kabar hari ini “Walikota Djakarta Lengser dan Terancam
Gulung Tikar”. Beberapa hari terakhir, Pak Warno dan Bu Aina membicarakan nasib
perusahaaan kereta api mereka yang telah resmi ditutup dan dicabut dari
peredaran. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengirim proposal design kereta api
listrik dengan jarak tempuh 80 Km/jam kepada pemerintah Jepang. Pak Warno yakin
kerjasama ini akan disambut baik. Proposal telah dikirim, namun perasaan cemas
masih bersarang di hati Pak Warno. “Sudahlah pak. Untuk apa kita memikirkan
nasib negeri kita sendiri. Sementara negeri ini acuh tak acuh pada pemimpin
seperti bapak. Ibu yakin pemerintah Jepang lebih membutuhkan segala hasil
pemikiran dan kerja keras bapak” Pak Warno hanya diam seribu bahasa.
Esoknya
sebuah kejadian mengejutkan terjadi. Pagi-pagi buta, Pak Warno menelpon sebuah
instansi kereta api di Jepang dan memutuskan untuk menarik kembali proposalnya
tanpa membicarakan dengan Bu Aina. Saat itu pula, Pak Warno mengganti
pakaiannya dengan sebuah kaaos putih compang-camping dan celana hitam robek
sana-sini. Ia pergi dengan bertelanjang kaki mentibak butanya pagi. Ia terus
berjalan hingga melewati ratusan kilometer dibawah terik matahari. Keringat
mengelucur deras namun tak menghentikan setapak demi setapak langkah yang ia
pilih. Ia terus berjalan tanpa sudi untuk berhenti meski hanya sedetik.
Seorang
berteriak dari balik gubuk renyot, “Wahai Bapak Warno! Hendak pergi kemana
engkau dengan rupa seperti itu? Semua jabatan serta kekayaanmu telah lenyap.
Percuma jika engkau terus berjalan ke arah timur hanya untuk bertemu dengan
tikus-tikus negara. Mereka sedang sibuk mencari suapan dari harta rakyatnya”
laki-laki itu berhenti berteriak. Dan Pak Warno tak mengindahkan ucapan
laki-laki itu.
Pak
Warno berhenti di sebuah gedung pemerintahan. “Wahai pemilik kekuasaan negara,
apa jadinya jika negeri terus kau pimpin. Para tikus peringkus uang rakyat
terus kau pelihara, orang licik bertopengkan kemunafikan terus kau jaga
sementara orang jujur malah tertindas” Pak Warno terus berteriak sembari
menghardik pemegang kekuasaan yang seolah tutup telinga.
Seminggu
setelah kejadian itu, Pak Warno dikabarkan wafat. Semua orang di negeri ini
mencari kebenaran atas kabar yang beredar. Ya! Pak Warno telah tutup usia
akibat serangan jantung. Neger ini seorang berduka! Sebelum wafat Pak Warno
sempat mengucapkan pesan terakhir kepada anak semata wayangnya. “Nak, kelak
jika engkau dewasa. Jadilah pribadi yang berguna bagi bangsa Indonesia.
Teruskan perjuangan bapak. Jangan pernah kecewakan negeri ini meski pun kau
telah di khianati”.
****
Laki-laki itu menyeruput teh hangatnya hingga habis. Ia menyandarkan badannya lebih nyaman sembari menikmati udara dan pemandangan sore
Laki-laki itu menyeruput teh hangatnya hingga habis. Ia menyandarkan badannya lebih nyaman sembari menikmati udara dan pemandangan sore