Sabtu, 07 November 2015

Setitik Kejujuran

Sang surya masih bertengger elok menyembur birunya langit di atas sana. Seorang laki-laki paruh baya sedang menyeruput secangkir teh manis yang asapnya mengepul di udara. Pemandangan hijau dan angin membelai lembut kulit laki-laki itu. “Ayah... lihat ini!” teriak seorang anak kecil lalu menghampiri laki-laki itu dengan sebutan ayah. Anak itu menyodorkan sebuah koran yang ia bawa. Laki-laki itu mengambil koran dari tangan anaknya. Ia kemudian membaca dengan seksama. Sebuah laman di sebuah surat kabar mengabarkab sosok pemimpin bijaksana dan dekat dengan kehidupan masyarakat. “Gubernur Harapan Rakyat” begitu judu; headline surat kabar tersebut. “Kelak jika kamu dewasa, jadilah pribadi yang berguna bagi bangsa Indonesia” ucap laki-laki itu sembari mengusap rambut anaknya. Ia hanya mengangguk polos, menatap mata biru sang ayah.
                                                                        ****
            Hari ini, Djakarta 08 Desember 1975. Seorang laki-laki bertubuh tegap tengah berbicara pada dirinya sendiri di depan cermin. Sebut saja Pak Warno. Usianya memang tak lagi muda, bahkan mulai menua. Kerutan mata serta kantung-kantung mata terlihat jelas pada wajah Pak Warno. Namun kebijaksanaan, ketegasan serta kharisma beliau tak tergerus usia atau pun waktu. Kediaman beliau tidak mewah bahkan terkesan sederhana. Di salah satu sudut ruang keluarha, tampak sebuah foto dengan bingkai berwarna keemasan. Foto tersebut diabadikan saat pelantikan Walikota Djakarta empat tahun silam. Tidak hanya itu, sebingkai foto dengan sematan toga di atas kepala menjadi saksi bisu bahwa dulu ia pernah mengenyam pendidikan teknik di negeri kincir angin. Dan saat ini Pak Warno menjabat sebagai Walikota Djakarta sekaligus pemilih perusahaan kereta api pertama dan terbesar di Indonesia. Seorang perempuan berkulit putih dan berperawakan keibuan tiba-tiba menghampiri Pak Warno. “Ada tamu Pak!” ucap Bu Aina, istri Pak Warno . “Siapa bu?” Bu Aina hanya menggeleng lalu muncul suara ketukan dari balik pintu yang seakan dibuat lebih keras dari sebelumnya. Pak Warno membuka pintu. “Semua sudah siap pak!” lapor seorang ajudan Pak Warno. “Baiklah” jawab Pak Warno siangkat. “Bapak” panggil seorang anak kecil kemudian menggelayut manja di kaki Pak Warno. Pak Warno hanya mengusap rambut anaknua. Sesimpul senyum dengan bola mata berwarna biry dari wajah sang anak
            Sepekan ini Indonesia sedang gempar dengan pemberitaan mengenai hasil pilkada Djakarta. Media massa mana pun sedang mengusut seluk beluk perkara pada kasus tersebut. Semalam, sebuah stasiun televisi mengabarkan bahwa salah seorang kandidat mengajukan Permohonan Keberatan Hasil Pilkada Djakarta. Sebut saja Pak Joko, ia menilai bahwa hasil tersebut terdapat banyak kecurangan dan terdapat oknum-oknum licik sebagai dalang dari kecurangan tersebut. Pak Joko sedang gencat-gencatnya memperjuangkan permohonannya. Ia sedang memperjuangkan kemenangan yang ia yakini. Nampaknya kebenaran belum menampakkan benang merah. Para aparatur hukum sedang menyelidik kasus ini hingga keakarnya.
            Malam harinya, ketika para penghuni bumi sedang terlelap dalam limbunan selimut tebal dan hanya segelintir mata yang masih terjaga di antara senyapnya kegelapan. Rumah Pak Warno dikejutkan dengan suara bel yang terus bersautan. “Siapa malam-malam seperti ini ingin bertamu pak?” omel Bu Aina sembari melirik jam dinding di kamarnya. Waktu menunjukkanpukul 23.30 WIB. Bu Aina segera beranjak turun menuju ruang tamu, akan tetapi Pak Warno mencegatnya. “Biar bapak saja yang turun bu” BuAina mengangguk.
            “Kreek” seseorang muncul dari balik cahaya remang. “Ada apa malam-malam ingin bertamu?” seseorang membalikkan badan. “Selamat malam Bapak Warno” ucapnya. “Ada apa anda datang Bapak Joko?” Pak Warno memandang enggan kedatangannya. “Bisa kita bicara di dalam?” ajak Pak Joko dengan nada seolah mengejek. Pak Warno menatap sinis setiap langkah dari Pak Wrno. Mereka duduk di sebuah sofa, Pak Joko mengangkat kaki kirinya dengan sombong, ia lalu melihat ke seluruh penjuru sudut ruang tamu. “Ada keperluan apa anda datang kemari?” Pak Warno tampak mulai geram dengan gelagat dari tamunya. Pak Joko hanya diam, ia menyodorkan sebuah koper hitam. “Silahkan anda buka” Pak Warno membuka koper tersebut. Wajahnya tiba-tiba merah padam. Sesaat kemudian, Pak Warno menghempaskan koper itu hingga beradu keras dengan lantai. Menimbulkan suara mengejutkan. “Keluar!!” bentak Pak Warno. Pak Joko menurunkan kaki kirinya. Asap rokok keluar liar dari muluk Pak Joko, membuat Pak Warno semakin geram. Di lantai berhambutan ratusan uang dollar. Pak Joko menepuk-nepuk dada Pak Warno. “ Dengan uang itu anda akan menjadi orang terkaya di negeri ini. Jangan munafik Pak Warno” “Sekarang anda pergi dari rumah saya!! Tidak sudi saya menerima injakan kaki anda! Saya tidak akan pernah menerima uang haram itu. Tidak sudi pula saya berhubungan dengan orang pengecut seperti anda! Sekarang enyah dari rumah saya!!” Kesabaran Pak Warno sudah di ujung.
            “Ini hanya permulaan Bapak Warno. Saya yakin anda akan menerima uang itu” “Sampai saya sekarat pun, tidak akan sudi menerima uang itu! Saya tidak akan membohongi rakyat Indonesia. Saya tidak akan pernah mengkhianati bangsa saya sendiri. Biar aparat kepolisian yang akan menemukan celah kebohonganmu. Permohonan yang kamu ajukan itu hanya bagian dari permainan licikmu, bukan?”
            “Cuih.. Sebentar lagi anda akan segera tahu, resiko apa yang akan anda terima” Ancam Pak Joko. Nampaknya Pak Warno tak terlihat gentar sedikit pun. “Braak” Pak Warno membanting pintu rumahnya. Memperlihatkan keengganannya atas kedatangan Pak Joko.
            Sore harinya, ketika Pak Warno, dan Bu Aina sedang bersantai di ruang keluarga. Bu Aina membuka pembicaraan, “Apa yang telah terjadi semalam Pak?” “Semalam, Pak Joko datang. Ia menyodorkan sekoper berisikan uang kemudian meminta bapak untuk membantunya dalam permohonan yang ia ajukan” “ Ibu tahu, Pak Joko bukanlah orang asing dalam dunia politik. Koleganya tersebar luas baik di pemerintahan atau di kalangan mafia hukum. Kelicikannya memang hal tabu bagi masyarakat umum. Kebohongannya dalam menutupi topeng kemunafikan serta kecilikannya dapat ia perannya dengan baik.   
            Malam harinya, saat Pak Warno baru saja melaksanakan sholat maghrib, tiba-tiba terdengar ketukan lirih. Bu Aina mendengarkan dengan seksama. “Ada tamu Pak!” Pak Warno langsung keruar membukakan pintu. Namun, ia tidak menemui pemilik ketukan itu. Saat hendak menutup pintu, mata Pak Warno menangkap sebuah koper di antara undakan anak tangga. Ia berjalan menghampiri lalu membuka koper tersebut, betapa terkejutnya ketika yang ia dapati berupa ratusan uang dollar. Sekelompok orang muncuk sembari menodongkan pistol. “Siapa kalian?” ujar Pak Warno dang wajah bingung. “Kami dari aparat kepolisia. Anda tertangkap menerima suap” Mereka menyeret Pak Warno sebara paksa. Bu Aina mencoba menjelaskan namun mereka seolah tutup telinga.
            Berhari-hari kasus ini berjalan. Berhari0hari pula penyelidikan terus dilakukan. Semenjak itu media massa nasional terus menyiarkan pemberitaan kasus Pak Warno. Bumbu-bumbu fitnah seolah menjadi racun dari sebagian besar pemberitaan. Dan selama itu pula Paka Warno harus meringkuk di balik jeruji besi sampai penyelidikan tuntas. Hingga tiba waktunya Pak Warno duduk di kursi ruang sidang. Hakim mulai mulai membacakan hasil penyelidikan serta tuntutan. Pak Warno tampak tenang. Hakim memutuskan bahwa Pak Warno tidak terlibat dalam kasusu ini. Tampak rona bahagia dari wajah Pak Warno dan Bu Aina. Setelah persidangan, Pak Warno dan Bu Aina meninggal ruang sidang. Para wartawan terus mengorek sepatah-dua patah kata dari Pak Warno. Namun ia memilih diam.
            Saat sampai di depan pekarangan rumah, Pak Warno dan Bu Aina dikejutkan dengan ratusan orang berdiri di depan rumah mereka dengan suara berteriak. “Ada apa ini bu?” tanya Pak Warno. Pak Warno turun mendatangi mereka. “Ada apa ini?” ratusan orang itu terus berteriak sambil mengacungkan tulisan. Pak Warno mengajak salah seorang dari mereka masuk. Rupanya mereka adalah buruh dari perusahaan kereta api milik Pak Warno. Mereka kenaikan gaji 30%. Pak Warno kaget, ia merasa permintaan mereka sangat tidak wajar. Pak Warno tidak menyutujui permintaan para buruh tersebut.
            Berbulan-bulan kemudian, Pak Warno harus lengser dari masa jabatannya sebagai walikota Djakarta. Headline surat kabar hari ini “Walikota Djakarta Lengser dan Terancam Gulung Tikar”. Beberapa hari terakhir, Pak Warno dan Bu Aina membicarakan nasib perusahaaan kereta api mereka yang telah resmi ditutup dan dicabut dari peredaran. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengirim proposal design kereta api listrik dengan jarak tempuh 80 Km/jam kepada pemerintah Jepang. Pak Warno yakin kerjasama ini akan disambut baik. Proposal telah dikirim, namun perasaan cemas masih bersarang di hati Pak Warno. “Sudahlah pak. Untuk apa kita memikirkan nasib negeri kita sendiri. Sementara negeri ini acuh tak acuh pada pemimpin seperti bapak. Ibu yakin pemerintah Jepang lebih membutuhkan segala hasil pemikiran dan kerja keras bapak” Pak Warno hanya diam seribu bahasa.
            Esoknya sebuah kejadian mengejutkan terjadi. Pagi-pagi buta, Pak Warno menelpon sebuah instansi kereta api di Jepang dan memutuskan untuk menarik kembali proposalnya tanpa membicarakan dengan Bu Aina. Saat itu pula, Pak Warno mengganti pakaiannya dengan sebuah kaaos putih compang-camping dan celana hitam robek sana-sini. Ia pergi dengan bertelanjang kaki mentibak butanya pagi. Ia terus berjalan hingga melewati ratusan kilometer dibawah terik matahari. Keringat mengelucur deras namun tak menghentikan setapak demi setapak langkah yang ia pilih. Ia terus berjalan tanpa sudi untuk berhenti meski hanya sedetik.
            Seorang berteriak dari balik gubuk renyot, “Wahai Bapak Warno! Hendak pergi kemana engkau dengan rupa seperti itu? Semua jabatan serta kekayaanmu telah lenyap. Percuma jika engkau terus berjalan ke arah timur hanya untuk bertemu dengan tikus-tikus negara. Mereka sedang sibuk mencari suapan dari harta rakyatnya” laki-laki itu berhenti berteriak. Dan Pak Warno tak mengindahkan ucapan laki-laki itu.
            Pak Warno berhenti di sebuah gedung pemerintahan. “Wahai pemilik kekuasaan negara, apa jadinya jika negeri terus kau pimpin. Para tikus peringkus uang rakyat terus kau pelihara, orang licik bertopengkan kemunafikan terus kau jaga sementara orang jujur malah tertindas” Pak Warno terus berteriak sembari menghardik pemegang kekuasaan yang seolah tutup telinga.
            Seminggu setelah kejadian itu, Pak Warno dikabarkan wafat. Semua orang di negeri ini mencari kebenaran atas kabar yang beredar. Ya! Pak Warno telah tutup usia akibat serangan jantung. Neger ini seorang berduka! Sebelum wafat Pak Warno sempat mengucapkan pesan terakhir kepada anak semata wayangnya. “Nak, kelak jika engkau dewasa. Jadilah pribadi yang berguna bagi bangsa Indonesia. Teruskan perjuangan bapak. Jangan pernah kecewakan negeri ini meski pun kau telah di khianati”.
                                                                        ****
                    Laki-laki itu menyeruput teh hangatnya hingga habis. Ia menyandarkan badannya lebih nyaman sembari menikmati udara dan pemandangan sore



Rabu, 04 November 2015


Optimalisasi Pemuda Sebagai Generator Utama
 Pertahanan dan Kesatuan Negara Republik Indonesia

oleh : Yasmin Auralia Putri 

“Anak muda itu jangan cuma bisa ngritik. Kalau mau ngritik, harus ada solusi, jadi ada timbal balik. Itu hakikat kemerdekaan, karena tumpuannya ada di anak muda yang kreatif dan inovatif”

           Begitulah ungkapan dari seorang Basuki Tjahaja Purnama atau lebih dikenal Ahok, seorang Gubernur DKI Jakarta yang terkenal dengan pemikirannya yang kritis. Jika dicermati, ungkapan tersebut merupakan sentilan kepada para pemuda Indonesia. Dijaman modern seperti ini, sangatlah mudah untuk menemukan bagaimana potret kehidupan para pemuda Indonesia. Sungguh ironis jika orang akan mengatakan bahwa “Pemuda saat ini cenderung untuk membuang waktu mudanya dengan hal yang tidak berguna dibanding dengan saling bertukar pikiran dan menghasilkan timbal balik yang berguna bagi bangsa. Terlebih jika kita menengok kebelakang tentang perjuangan para pemuda Indonesa dalam merebut dan memperjuangkan  kemerdekaan.

          Padahal jika disadari bahwa para pemuda saat ini jauh lebih berat tanggung jawabnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Penjajahan secara fisik memang sudah tidak ada tetapi dengan beredarnya produk luar negeri yang lebih mendominasi di pasar dalam negeri merupakan cerminan dari penjajahan di jaman modern. Lebih miris lagi jika kita tahu tingginya angka pengangguran yang didominasi oleh para pemuda, padahal di abad ke 21 ini pemuda Indonesia dituntut untuk mampu menguasai persaingan ketat dalam arus globalisasi. Rendahnya kesadaran dan pendidikan pastinya menjadi faktor yang mendorong lunturnya rasa nasionalisme. Indonesia sudah pernah kehilangan dua pulau yaitu Pulau Sipadan dan Ligitan yang seharusnya sudah melengkapi kebineka tunggal ika dan keanekaragaman Indonesia sebagai negara kepulauan. 

         Sejak dibangku sekolah dasar kita sudah diajari bahwa dalam komponen pertahanan, Tentara Nasional Indonesia merupakan komponen utama yang melaksanakan tugas pertahanan. Akan tetpai TNI tidak akan mampu berdiri sendiri dalam menjaga pertahanan dan kesatuan Negara Republik Indonesia jika masyarakat Indonesia terutama pemuda sebagai calon pemimpin bangsa bersikap acuh tak acuh. Pastinya harus ada kerjasama yang harmonis antara TNI dengan para pemuda Indonesia. Berkaca terhadap negara Korea Selatan yang mewajibkan pemuda di negaranya untuk menempuh dasar kemiliteran yang bertujuan agar pemuda Korea Selatan siap membela negaranya sewaktu-waktu. Dan akan menjadi poin tambahan bagi Indonesia akan tingginya angka penduduk di Indonesia, otomatis jika masyarakat Indonesia terutama pemuda memiliki kesadaran penuh akan perannya dalam menjaga pertahanan dan keutuhan bangsa ini akan dapat menjadi tameng yang kuat dari serangan baik dalam maupun luar. 

     Belajar dari hal itu, memalui adanya kewajiban dasar kemiliteran, menumbuhkan kesadaran melalui peningkatan pada bidang pendidikan serta peran aparatur negara dengan cara terjun langsung kepada kalangan para pemuda akan pentingnya peran pemuda dalam menjaga pertahanan dan keutuhan tanah air dapat menjadi solusi dalam hal ini.
        Dapat kita simpulkan bahwa peran pemuda dalam menjaga pertahanan dan kesatuan bangsa Indonesia sangatlah penting. Lajunya bangsa ini kelak akan dipimpin oleh pemuda saat ini. Jadi sudah sepatutnya para pemuda Indonesia menyadari akan perannya dalam negeri ini. Jiwa Nasionalisme harus tetap dijaga demi keutuhan bangsa ini.